Custom Search

Menata Shaf, Sunnah Rasul yang Terabaikan

MoslemSunnah

Menata shaf dalam shalat merupakan hal penting saat kita menunaikan shalat berjama’ah. Namun sangat disayangkan, sunnah Rasul ini mulai diabaikan bahkan cenderung dilupakan.

Saudariku muslimah… Dalam penjelasan yang lalu kita telah mengetahui hukum shalat berjama’ah bagi wanita dan beberapa perkara yang berkaitan dengan jama’ah wanita. Namun mungkin masih tersisa di benak kita yang belum kita dapatkan keterangannya. Salah satu masalah yang bisa kita sebutkan di sini adalah tentang shaf wanita dan keberadaan mereka ketika shalat bersama pria.

Mengapa kita perlu membahas masalah shaf ini? Karena banyak kita jumpai kesalahan di kalangan sebagian wanita. Ketika mereka hadir dalam shalat berjama’ah di masjid bersama kaum pria, mereka bersegera menempati shaf yang awal, tepat di belakang shaf terakhir jama’ah pria. Mereka menduga, dengan itu mereka akan mendapatkan keutamaan. Padahal justru sebaliknya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، خَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (Shahih, HR. Muslim, no. 440)

Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata: “Adapun shaf-shaf pria maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Berbeda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jama’ah pria, tidak bersama dengan pria, maka shaf mereka sama dengan pria, yang terbaik shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, dan paling jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjama’ah bersama pria memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan pria dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari interaksi dengan kaum pria ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari apa yang telah disebutkan.” (Syarah Shahih Muslim, 4/159-160)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu menyatakan: “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf dan dzahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum pria atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum pria, dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama pria. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf pria, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami dua perkara berikut ini:

1. Bila wanita itu shalat berjama’ah dengan kaum pria, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling akhir.

1. Sementara bila ia shalat dengan diimami wanita lain (berjama’ah dengan sesama kaum wanita) atau bersama jama’ah namun ada pemisah antara keduanya, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling awal sama dengan shaf yang terbaik bagi pria, karena tidak ada kekhawatiran terjadinya fitnah antara wanita dan pria. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لاَسْتَهَمُوْا

“Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang diperoleh dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk mendapatkannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 721 dan Muslim no. 437)

Haruskah Wanita Meluruskan Shafnya?

Saudariku muslimah…

Ketentuan yang diberlakukan syariat ini terhadap shaf pria juga berlaku bagi shaf wanita dari sisi keharusan meluruskan shaf, mengaturnya, memenuhi shaf yang awal terlebih dahulu kemudian shaf berikutnya, serta menutup kekosongan yang ada dalam shaf. (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/157,158)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Shahih, Al-Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433)

Beliau juga bersabda:

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُخُوْهِكُمْ

“Hendaknya kalian bersungguh-sungguh meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian1.” (HR. Al-Bukhari no. 717 dan Muslim no. 436)

Bila para wanita ini diimami oleh seorang wanita, maka hendaknya sebelum shalat ditegakkan imam menghadap ke makmumnya untuk meluruskan shaf mereka, dengan dalil hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan:

أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَوَجْهِهِ فَقَالَ: أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

“Diserukan iqamah untuk shalat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah kami dengan wajahnya, seraya berkata: ‘Luruskan shaf-shaf kalian dan rapatkanlah (saling menempel tanpa membiarkan adanya celah) karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Al-Bukhari no. 719 dan Muslim no. 434)

Yang dimaksud dengan meluruskan shaf adalah meratakan barisan orang-orang yang berdiri di dalam shaf tersebut sehingga tidak ada yang terlalu maju atau terlalu mundur, atau menutup adanya celah di dalam barisan tersebut (Fathul Bari, 2/254). Hal ini bisa dilakukan dengan menempelkan pundak dengan pundak dan mata kaki dengan mata kaki, sebagaimana amalan para shahabat yang disebutkan oleh An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu: “Aku melihat salah seorang dari kami menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adzan; bab Ilzaqil Mankib bil Mankib wal Qadam bil Qadam fish Shaf)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyaksikan: “Adalah salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya.” (HR. Al-Bukhari no. 725)

Bagaimana Bila Wanita Shalat Sendirian dengan Jama’ah Pria?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diundang makan di rumah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Selesainya dari memakan hidangan yang disajikan, beliau mengajak penghuni rumah untuk shalat bersama beliau. Maka Anas segera membersihkan tikar milik mereka yang telah menghitam karena lama dipakai dengan memercikkannya dengan air, setelah itu ia hamparkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas mengabarkan:

صَلَّيْنَا أَنَا وَيَتِيْمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي -أُمُّ سُلَيْمٍ- خَلْفَنَا

“Aku bersama seorang anak yatim di rumah kami pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang ibuku -Ummu Sulaim- berdiri di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari no. 380, 727 dan Muslim no. 658)

Hadits di atas menunjukkan seorang wanita bila shalat bersama kaum pria maka posisinya di belakang shaf mereka. Apabila tidak ada bersamanya wanita lain, dalam arti hanya satu wanita yang ikut dalam jama’ah tersebut, maka dia berdiri sendiri di shaf paling akhir dari shaf yang ada, demikian dikatakan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Syarah Shahih Muslim (5/163).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan wanita tidaklah berdiri satu shaf dengan kaum pria. Asal dari perkara ini adalah kekhawatiran terfitnahnya kaum pria dengan wanita….” (Fathul Bari, 2/261)

Bolehkah Seorang Pria Mengimami Seorang Wanita?

Saudariku muslimah…

Mungkin akan timbul pertanyaan: bolehkah seorang pria mengimami, yakni mereka hanya shalat berdua? Maka jawaban dari pertanyaan di atas bisa kita rinci berikut ini. Apabila wanita itu bukan mahramnya, maka haram ia berduaan (khalwat) dengannya walaupun untuk tujuan shalat. Hal ini perlu kita tekankan karena mungkin ada anggapan shalat itu ibadah sehingga tidak dipermasalahkan adanya khalwat ketika mengerjakannya. Maka ini jelas anggapan yang salah. Dalil dalam permasalahan ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang umum:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila wanita itu didampingi mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)

Ulama kita pun telah menyatakan keharaman akan hal ini, berbeda halnya bila wanita tersebut adalah mahramnya atau istrinya maka dibolehkan baginya shalat berdua dengan si wanita. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/277)

Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata: “Tidak mengapa seorang pria mengimami wanita-wanita yang merupakan mahramnya sebagaimana bolehnya ia mengimami para wanita bersama jama’ah pria. Karena (di jaman nubuwwah) para wanita biasa shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, Nabi sendiri pernah mengimami istri-istrinya dan pernah pula mengimami Anas bin Malik bersama ibunya di rumah mereka.” (Al-Mughni, 2/200)

Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.

Shaf Wanita di dalam Shalat

Ketika disampaikan kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah bahwasanya dalam bulan Ramadhan kaum wanita yang ikut hadir shalat berjama’ah di masjid memilih menempati shaf yang akhir. Akan tetapi shaf wanita yang pertama terpisah jauh dari shafnya jama’ah pria. Karena mayoritas wanita menempati shaf akhir ini, sehingga shaf penuh sesak dan menutup jalan bagi wanita lainnya yang hendak menuju ke shaf pertama. Mereka melakukan hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir.”

Beliau hafizhahullah memberikan jawaban terhadap permasalahan di atas dengan mengatakan: “Dalam permasalahan ini ada perincian. Apabila jama’ah wanita (yang ikut hadir di masjid) shalat tanpa ada penghalang (penutup) antara mereka dengan jama’ah pria maka keaadan mereka sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang paling akhir.” Karena shaf yang akhir itu jauh dari kaum pria sedangkan shaf yang depan dekat dengan kaum pria.”

Adapun bila mereka shalat dengan diletakkan penghalang/penutup antara mereka dengan pria, maka yang lebih utama bagi mereka adalah shaf yang terdepan karena hilangnya (tidak adanya) perkara yang dikhawatirkan, dalam hal ini fitnah antara lawan jenis. Sehingga keberadaan shaf mereka sama dengan shaf pria, yang paling depan adalah yang terbaik, selama diletakkan penutup (penghalang) antara shaf mereka dengan shaf pria. Dan shaf-shaf wanita wajib diatur sebagaimana shaf-shaf pria, mereka sempurnakan/penuhi dulu shaf yang terdepan, baru yang di belakangnya dan demikian seterusnya. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/323/324)

Wallahu a’lam.

Footnote:

1 Maknanya, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, yaitu Allah akan meletakkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dan berselisihnya hati-hati kalian. Karena berselisihnya mereka dalam shaf adalah perselisihan secara dzahir yang akan menjadi sebab perselisihan secara batin. (Syarah Shahih Muslim, 4/157)

Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
(Dinukil dari Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 05/Dzulqa’dah 1424H/Februari 2004M, judul: Menata Shaf, Sunnah Rasul yang Terabaikan, hal. 68-71, untuk http://akhwat.web.id)

Readmore..

Menuju Kepemimpinan Diri

MoslemSunnah

Tidak semua manusia memiliki jabatan atau menyandang status sebagai pemimpin. Namun, di sisi Allah SWT, setiap manusia tetaplah seorang pemimpin yang diamanahkan untuk mengelola potensi diri, sumber daya, waktu, dan hidupnya.

Allah SWT bahkan telah mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi. Pentingnya kesadaran ini, disabdakan Rasulullah SAW, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya.”

Kesadaran akan eksistensi diri dan kesadaran akan siapa dirinya yang sebenarnya, akan membantu dalam proses identifikasi dan pembentukan jati diri. Ini pada akhirnya akan berpengaruh pada pembentukan karakter dan kepribadian, juga pada pola manajemen diri dan kehidupan.

Mereka yang menyadari bahwa dirinya pemimpin, maka dalam pengelolaan dan penetapan tujuan hidup senantiasa dicanangkan dengan target dan keluhuran jiwa pemimpin. Prinsip yang dibangun, keyakinan yang terpatri, jalan hidup, akan dipola dan dirancang bagai seorang pemimpin yang sedang membangun kesuksesan.

Harga diri dan kepercayaan dirinya akan dibentuk semulia dan sekuat karakter pemimpin. Parameter hidupnya akan diukur dengan kepribadian dan pola kehidupan seorang pemimpin, Hasilnya, tata nilai, kualitas, dan prestasi dari waktu, amalan, pekerjaan, serta hidupnya, akan lebih tinggi dan mulia daripada yang tidak menyadarinya sebagai pemimpin.

Penyadaran akan ini telah digelorakan para sahabat dan ulama salaf. Imam Syafii dalam syairnya mengungkapkan, “Cita-citaku adalah cita-cita seorang raja (pemimpin). Jiwaku adalah jiwa merdeka yang sangat benci terhadap kehinaan.” Umar bin Khatab pun, memohon dalam doanya, “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk para pemimpin yang bertakwa.”

Bila kesadaran ini terbentuk, manusia akan membina diri agar kapasitas dan kapabalitasnya memenuhi spesifikasi seorang pemimpin. Mereka akan memenuhinya dengan kesadaran, pemahaman, dan keseriusan yang kuat, mendidik dan membekali diri dengan wahyu ilahi, ilmu yang luas dan jasad yang kuat.

Proses kepemimpinan pada diri terlihat dari pengarahan, pengelolaan, dan pengendalian potensi dan sumber daya yang dimiliki. Bila didayagunakan untuk menaati Allah SWT, itulah jiwa pemimpin sejati, karena sukses mempertanggung-jawabkan amanah kepercayaan itu.

Namun, bila diserahkan pada syahwat, setan, dan orientasi dunia, dirinya telah menjadi budak. Karena bukan dirinya yang mengendalikan, tapi ada pihak lain yang mengendalikan. “Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl [16]: 100).

Sumber : Kolom Hikmah Republika, Kamis 3 September 2009

Mimbar Jumat

Readmore..

Musibah Sebagai Ujian Keimanan

MoslemSunnah

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat “. (Al-Baqarah: 214).

Musibah adalah perkara yang tidak disukai oleh setiap manusia. Berkata Imam al-Qurthubi: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang Mu’min dan yang menimpanya”. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/175).

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Dia timpakan bencana kepada-Nya“. (HR. Al-Bukhari).

Allah swt telah menjelaskan dalam al-Qur’an: Ujian dan cobaan yang menimpa manusia ada berbagai macam bentuknya, adakala dengan ketakutan, kelaparan, kemiskinan, kematian, dsb. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 155:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia akan memberikan berbagai ujian kepada para hamba-Nya, agar nampak jelas (diantara para hamba tsb) siapakah yang jujur (dalam keimanannya) dan siapa yang berdusta, siapakah yang selalu berkeluh kesah dan siapa yang bersabar. Demikianlah sunnatullah, karena manakala keadaan suka semata yang selalu mengiringi orang beriman tanpa adanya tempaan dan ujian, maka akan muncul ketidakjelasan dan ini tentunya bukanlah suatu hal yang positif, sementara hikmah Allah menghendaki adanya sinyal pembeda antara orang-orang baik (ahlu al-khair) dan orang-orang jahat (ahlu as-syar). Itulah fungsi dari tempaan dan ujian, bukan dalam rangka melenyapkan keimanan orang-orang yang beriman dan bukan pula untuk menjadikan mereka murtad. Sesungguhnya Allah swt tidak akan menyia-nyiakan keimanan para hamba-Nya yang beriman”. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal.58).

Ath-Thabari menjelaskan: “Ini adalah pemberitaan dari Allah swt kepada para pengikut Rasul-Nya, bahwa Ia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat, supaya nyata diketahui orang yang mengikuti Rasul-Nya dan orang yang berpaling”. (Jami’ul Bayan 2/41).

Perkara-perkara berat bagi siapapun pasti menimbulkan kesedihan dan segala sesuatu yang menimpa manusia, entah berupa kebaikan maupun keburukan, kesenangan ataupun kesusahan, kegembiraan atau kesedihan, semua itu merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan dan ditetapkan Allah swt.

Firman Allah surat Al-Hadiid ayat 22: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”

Segala taqdir telah Allah tentukan sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rasulullah bersabda: “Allah telah menulis taqdir seluruh mahluk (pada kitab Lauh Mahfudz) 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi“. (HR: Muslim dari sahabat Amr bin ‘Ash).

Seorang hamba tidak punya kemampuan untuk menahan atau mendapatkan kemaslahatan dan menolak segala kemadharatan meskipun memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan yang luas, karena itu tetap saja dikatakan fakir, lemah dan sangat bergantung (membutuhkan).

Dalam menghadapi cobaan dan musibah ini, manusia terbagi menjadi 4 reaksi:

Pertama: Marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah dengan hatinya, seperti benci terhadap Rabb-nya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran karena apa yang keluar dari perilakunya itu.

Allah swt berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat yang demikian itu adalah kerugian yang nyata“. (QS: Al-Hajj: 11)

Dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan dan yang sejenisnya. Kemudian dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek baju, menjambak rambut, membenturkan kepala ke tembok, dst.

Kedua: Sabar, karena orang yang sabar itu akan melihat bahwasannya musibah ini berat dan dia tidak menyukainya, tetapi keimanan mengokohkan dirinya untuk tetap berada dalam jalur Islam selama musibah itu dan melindunginya dari marah dan putus asa.

Ketiga: Ridha, ada atau tidak adanya musibah disisinya sama ketika disandarkan terhadap Qadha dan Qadar (ketentuan Allah), walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, bukan karena hatinya mati, tetapi karena kesempurnaan ridha-Nya kepada Allah sebagai Tuhannya. Bagi orang yang Ridha, ada ataupun tidak adanya musibah adalah sama karena dia melihat bahwasannya musibah tersebut adalah taqdir / ketentuan Rabbnya.

Jika suatu penderitaan menimpa seorang Mukmin, dia menerima dan mengalami penderitaan itu, namun dia siap dan ridha untuk menempuh semuanya, karena dia yakin akan mendapatkan balasan yang lebih baik, yaitu pahala dari Rabbnya.

Begitu pula orang yang bepergian jauh untuk tujuan tertentu yang menguntungkan, tentunya dia sudah sadar dan siap dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam mencapai tujuannya itu, namun tekad membuat ia tetap senang melanjutkan apa yang diinginkan dari perjalanannya karena betapa jelas tujuan yang terbayang dalam pikirannya.

Keempat: Syukur, syukur merupakan derajat yang tertinggi ketika menghadapi musibah, karena setiap musibah baginya iebih ringan daripada menimpa musibah yang tidak ia ketahui dibalik musibah tsb, baik di dunia ataupun di akhirat. Dia merasa bersyukur karena musibahnya tidak lebih berat dari apa yang ia bayangkan bilamana ia harus menempuh semua musibah.

Ketahuilah wahai kaum muslimin sekalian, bahwasannya tidak ada musibah yang melebihi batas kemampuan seseorang sebagai hamba Allah, karena Allah lah yang Maha Mengetahui sebatas apakah iman hamba-Nya ketika diberi musibah, maka sebatas itulah Allah membebankannya.

Nabi saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim ditimpa kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan, gundah gulana (kerisauan), bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan hapuskan dengannya (musibah itu) kesalahan-kesalahannya“. (HR: Bukhari).

Rasulullah saw telah mengajarkan kita untuk mengucapkan apa yang telah diperintahkan Allah swt ketika menghadapi musibah seperti dalam firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘lnna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’ “. (QS: al-Baqarah: 156).

Karena itu Rasulullah saw melarang ucapan seperti dalam sabdanya: “…bersungguh-sungguhlah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, jangan lemah (putus asa). Bila sesuatu menimpamu jangan sekali-kali kamu berkata: “Kalaulah aku berbuat/tidak berbuat begini, maka hasilnya (pasti/tidak) begini dan begini”, tetapi katakanlah “Allah telah menaqdirkan perbuatan ini, dan tidaklah perbuatan ini terjadi tanpa kehendak Allah …“. (HR: Imam Muslim).

Dengan hadits tersebut, jelas kita dapat meyakini bahwa musibah juga merupakan taqdir Allah yang tidak ada seorangpun mampu menghalangi jika Allah memberinya, dan tidak ada yang mampu mendatangkannya jika Allah menghalanginya.

dari Salman al-Farisi ra, ia berkata Rasulullah saw bersabda: ‘Tidak ada yang mampu menolak Taqdir kecuali do’a“. (Sunan Tirmidzi, bab Qadar 8/305-306).

Siapapun yang mendapatkan cobaan dari Allah dan dia yakin kepada-Nya akan adanya balasan yang lebih baik, maka ia mendapatkan pahala dari kesabaran dan keridhaannya terhadap musibah, terlebih lagi jika ia mampu mensyukuri setiap nikmat yang bertambah atau pun berkurang darinya.

Lain halnya dengan apa-apa yang menimpa kepada orang kafir, mereka sama sekali tidak mendapatkan kebaikan dari apa yang mereka kerjakan, karena itu setiap respon mereka dalam menghadapi musibah, baik yang benar ataupun yang salah, mereka tetap menjadi penghuni neraka jahannam.

Sebagaimana yang Allah janjikan dalam al-qur’an: “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya“. (QS: Al-Baqarah: 257).

Hal ini karena setiap amalan yang shaleh memiliki 2 syarat untuk dapat diterima oleh Allah swt, yaitu Iman dan Ikhlas. Orang-orang kafir sama sekali tidak beriman kepada Allah, maka itu Allah murka kepada mereka dan setiap musibah yang menimpa mereka itu menjadi adzabnya di dunia, sementara bagi pelaku maksiat dan orang-orang Fasiq, musibah merupakan peringatan dan bagi orang-orang yang beriman, musibah menjadi ujian guna meningkatkan kualitas imannya.

Semoga Allah ridho menjadikan kita sebagai hambanya yang beriman dengan segala daya upaya yang kita lakukan dalam memperbaiki diri dan menuntut Ilmu Islam.

Mimbar Jumat

Readmore..

Surga Karena Memuliakan Orang Miskin

MoslemSunnah

Menolong orang miskin dan anak yatim menunjukkan bukti cinta seorang Muslim kepada Rasulullah SAW.

Alkisah, di negeri Arab, ada seorang janda yang sangat miskin. Ia memiliki seorang anak. Karena kemiskinannya itu, ia pun berusaha meminta sesuap nasi kepada siapa saja yang mau berrnurah hati. Janda tersebut mengembara ke mana saja demi nasi dan makanan untuk dia serta anaknya.

Suatu hari, ia melintas di sebuah masjid dan bertemu dengari seorang Muslim. Kepadanya, janda ini meminta bantuan. “Wahai, tuan, sudilah kiranya bermurah hati. Anakku sedang kelaparan dan aku mohon pertolongan kepada Anda,” ujar janda tersebut.

“Mana buktinya kalau Anda miskin dan anak Anda seorang yatim?” tanya laki-laki Muslim itu.

Sang janda tersebut berpikir bagaimana harus menunjukkan bukti yang diminta lelaki itu. Apalagi di situ tidak ada yang mengenalnya. Ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, ia pergi berlalu dan meninggalkan laki-laki tadi.

Tak lama berselang, si janda bertemu dengan seorang laki-laki Majusi. Ia pun meminta pertolongan kepadanya. Tanpa berpikir panjang, laki-laki Majusi ini langsung membawa si janda ke rumahnya dan memberikan uang serta pakaian. Bahkan, si Majusi ini memerintahkan janda dan anaknya untuk tinggal di rumahnya.

Pada malam harinya, bermimpilah laki-laki Muslim tadi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan Rasulullah SAW. Ia melihat banyak orang mendatangi Rasulullah. Rasul SAW pun menyambut mereka dengan senang hati. Ketika tiba giliran laki-laki Muslim tadi, Rasulullah menolak menyambutnya.

Lelaki tersebut lantas berujar kepada Rasul SAW, “Ya, Rasulullah, aku juga umatmu dan aku mencintaimu,” ujar laki-laki tersebut.

Rasulullah menjawab, “Apa buktinya bahwa kamu umatku dan kamu mencintaiku?” Laki-laki tersebut langsung terdiam. Ia merasa malu karena pertanyaan yang diajukan Rasulullah sama dengan yang ia ungkapkan saat seorang janda meminta pertolongan kepadanya.

Rasulullah SAW kemudian menunjukkan sebuah gedung yang sangat megah di dalam surga. “Lihatlah ini. Seharusnya ini milikmu. Namun, karena engkau menolak menolong umatku dan anak yatim yang sedang kelaparan, tempat ini menjadi milik si orang majusi yang telah menolongnya.”

Pada saat yang sama, si Majusi rupanya juga bermimpi serupa. Ia sangat bahagia karena akan diberikan tempat di dalam surga, sebuah gedung yang sangat megah.

Pagi harinya, si laki-laki Muslim ini mencari janda tersebut. Ia mendapatinya sedang berada di rumah orang Majusi tersebut. Dengan memaksa, ia meminta si Majusi untuk menyerahkan janda tersebut kepadanya.

“Serahkanlah kepadaku janda dan anak yatim itu. Biarlah aku yang menolongnya,” kata dia.

Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh si Majusi. “Tidak. Aku tidak akan menyerahkan mereka kepadamu,” tegasnya.

“Berikan saja. Nanti, aku beri engkau uang dinar yang sangat banyak,” pinta si Muslim.

“Tidak. Aku tidak akan menyerahkannya kendati engkau bayar dengan gunung emas sekalipun,” jawab si Majusi.

“Tapi, engkau orang Majusi, tak pantas engkau menolong janda yang Muslim itu. Seharusnya, orang Muslim juga yang menolongnya,” kata si Muslim.

Orang Majusi itu lalu bercerita, “Tadi malam, aku bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Beliau berkata bahwa beliau akan memberikan surga yang semula akan diberikan kepadamu untukku. Ketahuilah bahwa pagi ini, ketika aku terbangun, aku langsung masuk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah SAW karena aku telah menunjukkan bukti bahwa aku adalah salah seorang yang mencintainya,” ujar laki-laki Majusi yang telah memeluk Islam tersebut.

Sumber: Cahaya Ramadhan Republika, 27 Agustus 2010

Readmore..

Mengagumi Rasulullah SAW

MoslemSunnah

Ketika Rasulullah SAW sedang bertawaf mengelilingi Ka’bah, beliau mendengar seorang di hadapannya bertawaf sambil berzikir, “Ya, Karim! Ya, Karim!” Lalu, Nabi SAW menirunya, “Ya, Karim! Ya, Karim!” Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, lalu berzikir lagi. Nabi Muhammad pun kembali mengikutinya.

Seakan merasa seperti diolok-olok, orang itu menoleh ke belakang. Terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah dan tampan, yang belum pernah dikenalinya. Orang itu lalu berkata, “Wahai, orang tampan,
apakah engkau memang sengaja memperolok-olokku karena aku ini adalah orang Arab Badui? Kalaulah bukan karena kegagahanmu, pasti aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad SAW.”

Rasulullah pun tersenyum, dan bertanya, “Tidakkah engkau mengenali nabimu, wahai, orang Badui?” Orang itu menjawab, “Belum.” Lalu, Rasulullah bertanya, “Jadi, bagaimana engkau beriman kepadanya?” Si Badui kembali berkata dengan mantap, “Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya walaupun saya belum pernah melihatnya.”

“Wahai, orang Badui, ketahuitah, aku ini nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat,” ujar Nabi. Melihat Rasulullah di hadapannya, dia tercengang, seakan tak percaya. “Tuan ini Nabi Muhammad?” Nabi menjawab, “Ya.”

Ia segera menunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah. Melihat hal itu, Nabi segera menarik tubuh orang Badui itu seraya berkata, “Wahai, orang Badui, janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabur dan yang minta dihormati atau diagungkan. Akan tetapi, demi berita gembira bagi orang yang beriman dan ancaman bagi yang mengingkarinya.”

Ada dua makna penting dalam kisah di atas. Pertama, kebanggaan tiada tara seorang hamba bertemu dengan Nabi SAW. Kedua, kecintaan terhadap Nabi bukan dengan cara memujanya, seperti mencium kaki. Nabi tak memposisikan dirinya di hadapan umatnya laksana tuan dan budak.

Kecintaan dan kekaguman terhadap Rasulullah hendaknya direfleksikan dari perilaku yang mencerminkan ketaatan terhadap ajarannya, bukan pada pribadinya secara fisik. Kita tak menemukan Rasulullah dalam bentuk fisik, tetapi ajaran kebenaran yang disampaikannya akan tetap “hidup” dan menjadi cahaya sepanjang zaman. Selama itu pula, umat akan merasakan kehadiran Rasulullah sekaligus menghormatinya.

Kesetiaan dan kekaguman kepada Rasulullah saat ini akan memiliki derajat yang sama dengan orang yang bertemu secara langsung tatkala kita menjadi umat yang taat dan selalu menegakkan syiar Islam yang diajarkannya.

Sumber: kolom hikmah Republika, 16 September 2010

Readmore..

Sunnah Rasul

MoslemSunnah

Melaksanakan sunnah Rasulullah SAW sangat penting bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam hal ibadah maupun muamalah (hablum minallahi wa hablum minannasi). Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya,”…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya “. (QS. Al-Hasyr[59]:7).

Disamping Al-Quran, sunnah Rasullah SAW merupakan pedoman hidup manusia. Dengan menjalankan kedua pedoman hidup tersebut, manusia bisa mencapai hidup yang sempurna, bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, ditinggalkannya salah satu pedoman tersebut akan membuat manusia kehilangan arah dan tersesat dalam hidup. Ada banyak hikmah yang bisa diambil apabila kita melaksanakan sunnah Rasul SAW, diantaranya:

1. Hidup Menjadi Seimbang

Kehidupan Rasulullah Saw selalu berlangsung dalam keseimbangan antara jasmani, akal dan qalbu (rohani). Hal itu tercermin dari sikap dan perbuatannya sehari-hari. Sunnah Rasulullah Saw telah menjelaskan aspek-aspek tertentu agar tercapainya hidup yang seimbang

* Aspek jasmaniah
Rasulullah Saw selalu mengajarkan agar bidup bersih, memakan makanan yang halal dan baik serta tidak berlebihan. Rasulullah Saw menyatakan, “Perutmu itu sepertiganya untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiganya untuk bernafas“. (QS. Al-Hadits).
Juga tentang keutamaan mukmin yang kuat jasmaniahnya, Rasulullah Saw, “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, (hal ini berlaku) dalam semua segi kebaikan“. (HR Muslim).
* Aspek Akal
Rasulullah Saw sangat menganjurkan dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Dalam haditsnya Rasulullah Saw menyatakan: “Barangsiapa yang menjalani satu jalan untuk mencari ilmu pengetahuan akan dimudahkan Allah baginya jalan ke surga“. (HR. Muslim).
Penguasaan terhadap ilmu qauliyah (kitabullah dan sunah Rasulullah SAW) dan kauniyah (alam semesta) bermanfaat untuk kepentingan manusia dalam mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak menjadi orang yang taklid buta, ikut-ikutan tanpa dasar pengetahuan. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya“. (QS. Al-Isra’ [17]:36).
* Aspek Qalbu
Dalam al-Quran, Allah S WT berfirman, “Sesungguhnya orang-orangyang beriman itu adalah merekayangapabila disebut namaAllah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal “. (QS. Al-Anfaal [8]: 2).
Rasulullah SAW mengajak umatnya untuk selalu bertawakkal dengan mengendalikan hawa nafsu agar sesuai dengan kehendak Allah SWT sehinggaqalbunyabersih, itulah hati orang yang beriman dan Rasulullah Saw bersabda, “Hati orang mukmin bersih yang didalamnya terdapat lampu yang bersinar, tapi kalau hatinya orang kafir itu hitam, kotor dan berpenyakit “. (HR. Ahmad dan Thabrani).

2. Dapat memiliki akhlak al-karimah

Rasulullah Saw diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia, oleh karena itu Rasulullah Saw mempunyai sifat-sifat mulia yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia agar dapat memiliki akhlakul karimah (akhlak yang baik), sebagaimana Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung “. (QS. Al-Qalam [68]: 4).

Bagaimana seseorang seharusnya berakhlak kepada yang menciptakannya Allah SWT, harus beribadah dan mengabdi hanya karena-Nya. Bagaimana seharusnya akhlak kepada sesama manusia. Rasulullah Saw selalu menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya baik terhadap sahabat-sahabatnya maupun terhadap musuh dan lawan. Bagaimana akhlak kepada makhluk lain alam, manusia harus menjalankan fungsi peran dan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
3. Dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat

Setiap manusia yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orangyang tidak meninggalkan (kepentingan) akhiratnya, karena (sibuk dengan kepentingan) dunianya. Dan tidak meninggalkan (kepentingan) dunianya, karena (tekun dengan kepentingan) akhiratnya. Dan tidak memberatkan (jadi tanggungan) orang lain “. (HR. Al-Khatib).

Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 11 Th. XXIII - 13 Maret 2009

Readmore..

JAGA 7 SUNNAH RASULULLAH S.A.W

MoslemSunnah

"Cerdasnya orang yang beriman adalah dia yang mampu mengolah hidupnya yang sesaat, yang sekejap untuk hidup yang panjang. Hidup bukan untuk hidup, tetapi hidup untuk Yang Maha Hidup. Hidup bukan untuk mati, tapi mati itulah untuk hidup.

Kita jangan takut mati, jangan mencari mati, jangan lupakan mati, tapi rindukan mati. Karena, mati adalah pintu berjumpa dengan Allah SWT. Mati bukanlah cerita dalam akhir hidup, tapi mati adalah awal cerita sebenarnya, maka sambutlah kematian dengan penuh ketakwaan.

Hendaknya kita selalu menjaga tujuh sunnah Nabi setiap hari. Ketujuh sunnah Nabi SAW itu adalah:

Pertama: tahajjud, karena kemuliaan seorang mukmin terletak pada tahajjudnya.

Kedua: membaca Al-Qur'an sebelum terbit matahari Alangkah baiknya sebelum mata melihat dunia, sebaiknya mata membaca Al-Qur'an terlebih dahulu dengan penuh pemahaman.

Ketiga: jangan tinggalkan masjid terutama di waktu shubuh. Sebelum melangkah kemana pun langkahkan kaki ke mesjid, karena mesjid merupakan pusat keberkahan, bukan kerana panggilan muadzin tetapi panggilan Allah yang mencari orang beriman untuk memakmurkan mesjid Allah.

Keempat: jaga sholat dhuha, karena kunci rezeki terletak pada solat dhuha.

Kelima: jaga sedekah setiap hari. Allah menyukai orang yang suka bersedekah, dan malaikat Allah selalu mendoakan kepada orang yang bersedekah setiap hari.

Keenam: jaga wudhu terus menerus karena Allah menyayangi hamba yang berwudhu. Kata khalifah Ali bin Abu Thalib, "Orang yang selalu berwudhu senantiasa ia akan merasa selalu solat walau ia sedang tidak solat, dan dijaga oleh malaikat dengan dua doa, ampuni dosa dan sayangi dia ya Allah".

Ketujuh: amalkan istighfar setiap saat. Dengan istighfar masalah yang terjadi kerana dosa kita akan dijauhkan oleh Allah.

Zikir adalah bukti syukur kita kepada Allah. Bila kita kurang bersyukur, maka kita kurang berzikir pula, oleh karena itu setiap waktu harus selalu ada penghayatan dalam melaksanakan ibadah ritual dan ibadah ajaran Islam lainnya. Zikir juga merupakan makanan rohani yang paling bergizi, dan dengan zikir berbagai kejahatan dapat ditangkal sehingga jauhlah umat manusia dari sifat-sifat yang berpangkal pada materialisme dan hedonisme.

di kutip dari: http://www.iluvislam.com/v1/readarticle.php?article_id=1391

Readmore..

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

I heart FeedBurnerAdd to Google Reader or HomepageSubscribe in Bloglines
 
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com